Senin, 25 Juni 2018

Gerakan Perjuangan Setu Legi Yogyakarta


Di  tepi desa yang jauh dari hiruk pikuk aktivitas tampak dua orang tentara Belanda sedang menikmati siangnya. Duduk dibawah pohon yang cukup memberikan keteduhan dari panas matahari yang menyengat siang itu (insert). Mereka berdua Tue Fien dan Van Zen lebih tampak diam menikmati suasana dengan percakapan seperlunya. Sebagai seorang tentara tentunya tidak lepas dari perlengkapan senjata mereka berdua. Diparit tempat mereka duduk tampak senjata api dipangkaun meraka masing-masing (1).
Seorang pribumi (Fery) yang terbiasa mencari rumput untuk hewan ternaknya tidak sengaja melihat dua orang tentara Belanda itu. Ia kaget namun tidak tampak kegundahan diwajahnya(2). Malah Fery memutuskan untuk mencari pohon untuk berlindung agar bisa mengintai aktivitas kedua orang tentara Belanda yang belum menyadari keberadaannya. Meskipun dia seorang petani namun juga seorang yang mempunyai semangat juang melawan penjajahan(3). Melihat dua orang Belanda  Van Zen dan Tue Fien yang sedang santai tentu saja justru membuatnya berpikir untuk membunuhnya. Hanya saja dia menyadari akan kalah bila langsung menyergapnya, maka mengintainya adalah pilihan yang lebih baik.  Kantung rumput masih dipinggulnya. Dan senjata clurit masih digenggamnya(4).
Namun pengintaiannya sepertinya tidak berhasil. Saat Fery menyadari ada hal yang aneh dibelakangnya dan memutuskan untuk memalingkan kepala terlihat seorang tentara Belanda Captain Tomi, sudah berdiri tepat dibelakangnya. Belum sampai Fery berucap tiba-tiba “Praaakkkk”. Wajahnya dihantam dengan senjata oleh si Captain Tomi dengan sangat keras.
Begitu kerasnya mengakibatkan Fery pingsan.(5)
Matanya luka lebam akibat pukulan senjata yang membuat matanya sulit untuk melihat beberapa saat(6). Dalam kondisi tertunduk Fery mulai membuka wajahnya dan menegakan kepalanya. Tersadar ia sudah terikat dipohon bersimpuh  tidak berdaya(7). Dalam kondisi yang memprihatinkan dan tidak begitu jelas melihat Van Zen menuju arahnya dengan membawa seember air yang langsung disiramkan ke wajahnya “byuurrr...”. seketika Fery langsung gelagapan dan membuatnya sadar bahwa ia akan merima siksaan.(8)
Fery : “Bunuh saja aku, aku tidak akan menjadi budak kalian.” Jiwa patriotis langsung membakar semangatnya untuk tidak tunduk pada keadaan apapun. Meskipun ia harus menerima siksaan yang sangat merendahkan harga dirinya.(9)
Ridwhan : “Katakan dimana teman-temanmu berada?”.(10)
Fery : “Penghianat..”(11)
Ridwhan :”Haha..Hidupku lebih terjamin bersama mereka(Belanda). Apa kamu anggap kamu cukup berharga bagi bangsamu?! Tidak. Pengorbananmu hanya akan sia-sia. Bangsamu hanyalah sekelompok pengecut, sama sepertimu...Haha..!! Akan lebih baik jika kamu bekerja sama saja dengan kami”.(12)
Fery : “Cuiihh..” Seketika saja pribumi bereaksi meludah terhadap penghianat dihadapannya. Penghinaan justru membuatnya semakin berontak dan tidak menyerah hanya karena bualan-bualan dari Kompeni.(13)
Ridwhan :”Bodoh. Aku akan membunuhmu..”.(14)
Ketika pribumi hampir saja menerima pukulan dari sang penghianat yang begitu emosi, tentara Belanda Van Zen muncul lantas menariknya agar tidak terlalu berlebihan karena belum mendapatkan informasi sedikit pun dari pribumi.(15)
Tomi :”hey...hey... Slow down, slow down..!!! We needed more information from him...!. Sembari menariknya dengan keras. Lalu mendoronya agar menjauh dari tempat itu.(16)
Ridwhan :”Aku akan membunuhmu...!!”. Wajahnya terlihat sangat beringas dan berlalu menjauh dari tawanan.(17)
Menjauhlah penghianat dan kini giliran kompeni untuk menginterogasi tawanan. Tangan kompeni mencengkram dagu sang tawanan dan meremasnya dengan keras.(18)
Tomi :”Hey you..Will your fucking friend be coming here..?!. All this land will be destroyed. Your secrifice will be waste  and we will take over your Government for start a new world. (19)
Fery :”Koe omong opo?”.
Tomi :”Fucked up..”.(20)
Saat terjadi interogasi Kompeni dan tawanannya ternyata ada seorang pribumi (Agung) yang tidak sengaja mengetahuinya(21). Dicarilah tempat yang cukup aman untuk mengentai apa yang sedang terjadi. Semak-semak disekitarnya membuat keberadaannya tidak diketahui oleh Belanda. Dia mengendap-endap dan sangat memperhatikan langkahnya agar tidak menimbulkan suara yang bisa mengakibatkan fatal.
Jelas tampak dari tempat pengintaian telah terjadi penyiksaan dari Kompeni terhadap Fer yang sedang ditawan(22). Sepertinya harus lebih mendekat lagi untuk lebih mengetahui siapa pribumi yang sedang ditawan. Beralihlah dia  ke pohon yang didepannya dengan amat berhati-hati. Saat pandangannya mulai jelas melihat siapa yang sedang ditawan tersadarlah dia bahwa yang sedang ditawan adalah pamannya.  Paman Fery(23). Diambilah langkah seribu meninggalkan hutan itu menuju perkampungan warga(24). Memasuki kampung dengan nafas yang tersengal-sengal dan berjalan dengan gontai Agung menuju ketempat biasa orang berkumpul(25). Tak salah, disitu terdapat beberapa orang kawannya yang sedang berkumpul. Banu dan Rifki tampak serius tanpa kata sedang fokus bermain catur. Disebelahnya Pendi tampak memperhatikan langkah-langkah permainan catur kedua kawannya itu. Dan Banu menyadari ternyata sudah ada Agung didekat mereka yang terlihat sangat letih.(26)
Banu : “Lho, koe ki ngopo, Gung?”. Dibarengi dengan Rifki dan Pendi yang baru sadar kedatangan Agung.(27)
Agung : “Lon, Loonn, Londoo, onoo Londo, mass...!!. Wes tekan kene..!. Wajah Agung masih tampak tidak percaya dengan peristiwa yang baru saja dilihatnya. Kedua tangannya bertimpu di kedua lututnya. Nafasnya masih ngos-ngosan.(28)
Rifki : “Londo pye, Gung? Tenanan ra koe kie?”(29)
Agung : “lek.Fery ditawan, mass. Diikat nang pohon, disiksa, mass.” Tenaganya yang lemas karena berlari jauh dan cepat demi bisa memberitahukan pada kawan-kawanna. Terlihat wajah Agung yang begitu juga sangat meyakinkan atas informasi yang dia bawa.(30)
Banu menoleh ke arah Pendi lalu menyuruhnya untuk memanggil Kang.Sigit sebagai orang yang telah berpengalaman berjuang melawan Kompeni.
Banu : “Heh...koe tenan to, Gung. Yo wes ndang cepet celok’no,Kang.Sigit, Pen.”(31)
Pendi : “Yo, mass.” Bergegas Pendi berdiri dan mengambil sepeda yang di sandarkan ditembok(32). Ia pacu dengan cepat sepedanya agar bisa menyingkat waktu dan cepat sampai rumah Kang.Sigit(33). Belum jauh  Pendi memacu sepedanya tiba-tiba nongol sepeda didepannya dan Pendi banting kanan dengan cepat. Namun jaraknya sudah begitu dekat(34). Meski kaki Pendi telah turut mengerem laju sepeda juga, tabrakan sepeda Pendi dan Herma itu tak terhindarkan  “Grrooobyaaak..”. Keduanya terlibat gesekan kedua sepeda mereka. Tidak terlalu parah kecelakaan mereka berdua(35). Hanya saja keduanya sama-sama terjatuh dijalan. Pendi langsung saja kembali berdiri mengambil sepedanya(36).
Herma : “Koe ki jiaannnn, ngepit ra ngemat’kee..”. (37)
Pendi : “Londo, pak.Dhe. Londoo..”. Dituntunnya sepeda dengan berlari dan melanjutkan menuju rumah Kang.Sigit.(38)
Herma masih saja ndleming dengan berlalunya Pendi.(39)
Herma : “Wuaa...nuntun iki..”. Disadari sepedanya ternyata rusak dan sudah tidak bisa digunakan lagi.(40)
 Gang-gang sempit dilaluinya dengan gesit. Hampir saja kembali kecelakaan menabrak orang yang sedang jalan kaki. “Biangan’e....”. Spontan kata yang keluar dari orang yang hampir ditabraknya. Tapi bisa saja Pendi menghindarinya karena Pendi sebetulnya memang lihai dalam mengendarai sepeda.(41)
Sampai halaman depan rumah Kang.Sigit sepedanya langsung ditelantarkan di tanah(42). “Tok tok tok tokk..Tok tok tok toookkk..”. Keras sekali tangan Pendi memukul pintu rumah Kang.Sigit(45). Terdengarlah suara Ny.Sigit dari dalam rumah dan segera membukakan pintu.(46)
Ny.Sigit : “Iyo, iyo... sekedap”. Sahutan dari dalam rumah. Tampaklah wajah Pendi di depan pintu.(47)
Ny.Sigit : “Koe to, Pen..! Ora iso alon to nek ngetuk lawang.”(48)
Pendi : “Kang.Sigit, Kang.Sigit ten pundi, Bu?.”(49)
Ny.Sigit : “Arep tok jak nengdi hee..?”. Nada curiga dari Ny.Sigit.(50)
Pendi : “Aa nu..Anuu...”. Terbata-bata Pendi mengatakan maksud tujuannya.(51)
Ny.Sigit : “Anu anu opooo...”.(52)
Pendi : “Lek.Fery, bu..Lek.Fery dicekel Londo...”.(53)
Ny.Sigit : “hueee...rasah guyon koe ki, Pen”.(54)
Pendi : “Iki tenan, Bu. Tenin. Kae saiki ditawan Londo nang alas Ciro..” Pendi dan Ny.Sigit masih saja berbicara dipintu dan belum mempersilahkan Pendi untuk masuk.(55)
Ny.Sigit : “Welaah terus pye ikii...?”. Seketika saja wajah Ny.Sigit tampak gusar dan mulai resah kemudian lari kedalam untuk memanggil Kang. Sigit. Perlu doketahui bahwa sebetulnya Fery adalah adik kandung dari Ny.Sigit yang sangat dipedulikannya(56). Pendi mengikutinya masuk untuk menemui Kang.Sigit. Namun karena Pendi terlalu haus sebab mengendarai sepeda dengan kencang ia sambar dulu hidangan makanan dan minuman diatas meja yang disediakan Ny.Sigit kepada Kang.Sigit.(57)
Munculah Kang.Sigit diikuti Ny.Sigit dibelakangnya. Keluar dengan mengenakan sarung sembari mengancingkan bajunya yang dipakai. Dan langsung menemui Pendi yang masih terlihat menyantap makanan.(58)
Kang.Sigit : “Ono opo, Pen?”. Makanan yang belum sempat ditelan dan masih dikunyah memenuhi mulutnya Pendi sembari berbicara maksud dari kedatangannya.(59)
Pendi : “Anu, Kang. Lek.Fery dicekel Londo. Saiki nang alas Ciro ditali nang uwit.” Masih dengan sibuk mengunyah makanan yang ada dimulutnya dan berusaha untuk memaksa menelannya.(60)
Disamping Kang.Sigit tampak keresahan Ny.Sigit yang wajahnya sangat takut akan hal-hal yang tidak diinginkan. Dan mencoba merayu untuk segera melakukan tindakan.(61)
Kang.Sigit : “Sek, sek. Do tenang’o ndisik. Ojo waton mlaku. Saiki konco-konco podo nangdi?” Tanya Kang.Sigit pada Pendi.(62)
Pendi : “Dicakruk, kang.” Lontar singkat jawaban Pendi.(63)
Kang.Sigit : “Yo wes, aku tak langsung mrono. Kabeh do kon siap..”. Kabeh do kon siap maksud dari kata Kang.Sigit adalah bahwa semuanya harus segera mulai persiapan. Mengumpulkan pasukan dan senjata yang perlu dibawa.(64)
Pendi : “Inggih, kang”. Langkah cepat Pendi segera keluar dan kembali ke Cakruk dimana ada Banu dan Agung.(65)
Banu, Rifki dan Agung bertambah lagi isteri Banu bersama anaknya Wisnu yang penasaran dengan keanehan yang ada. Tampak mereka juga sedang bercakap-cakap(66). Ketika pendi sudah tiba dicakruk bersama sepedanya(67). Banu dan Agung secara bersamaan bertanya pada Pendi.(68)
Banu : “Kang.Sigit ketemu, Pen?”.(69)
Agung : “Ono nang ngomah to, Pen?”.(70)
Pendi : “Siap-siap kabeh. Kang.Sigit pesen ngono”.(71)
Isteri Banu : “Maksude perang to?”.(72)
Rifki : “Yo, perang to, Yu. Opo kon nekeran.” Jawab Rifki dengan banyolannya. Isteri.Banu dan Rifki pun terlibat percakapan berdua. Sedang Wisnu tampak asik dengan mainannya. Sebab Wisnu juga masih kecil dan belum terlalu mengerti dengan apa yang sedang terjadi.(73)
Pendi : “Mboh, pokoke pesen’e kang.Sigit ngono, Yu”. Sahut Pendi. (74)
Banu : “Waiki, awak’e dewe siap kuat keteguhan’e. Sing ora siap wes ora usah melu, jogo omah wae. Sing melu ayo barjuang bareng”.(75)
Agung : “Londo bakal mati nang tanganku..”(76)
Pendi : “Londo bakal mati nang sikilku..”.(77)
Banu : “Sakarepmu, sik penting kang.Fery slamet iso bebas”.(78)
Agung & Pendi : “Siap..”. serentak berdua menjawab spontan dan berbarengan.(79)
Munculah Kang.Sigit yang sudah pada ditunggu-tunggu sedari tadi untuk segera membuat setrategi pembebasan terhadap Fery yang ditawan oleh Kompeni. Banu, Rifki, Pendi, Agun dan Isteri.Banu langsung diam menanti dawuh dari Kang.Sigit.(80)
Banu : “Mbok’ne, Wisnu gowo mlebu ndisik.” Perintah Banu  terhadap isterinya yang juga punya maksud agar isterinya tidak usah terlibat dalam perjuangan ini. Tangan Wisnu yang masih bermain langsung disahutnya dan di ajak pergi dari Cakruk.(81)
Kang. Sigit : “Gung, ceritakno sing to seksen’i nang alas Ciro.” Semua arah mata langsung menuju ke posisi Agung. Agung membenahi duduknya lebih tegap dan mulai serius bercerita dari awal mulanya bisa melihat peristiwa penawanan Fery itu.(82)
Agung : “Ra sengojo aku, kang. Seko sawah aku arep mulih liwat alas Ciro karo golek kayu. Pas ngono malah weruh Londo aku, kang. Aku wedi arep mlayu ora sido, mergo aku weruh ono sek ditawan. Aku golek uwit go ndelik, pisan aku ora langsung ngerti nek kui Lek.Ogud. Aku golek posisi ben iso weruh jelas, maju nang ngarepku. Seko kono jelas nek sek ditawan jebul lek.Ogud.”
Kang.Sigit : “Kiro-kiro ono piro Londo’ne?”.
Agung : “Ono limo kurang luwih, kang.”
Rifki : “Ono penghianat’e jare, Gung.” Sahut Rifki mengingatkan Agung.
Agung : “Ho’o, Kang. Ono penghianat siji.” Mendengar adanya seorang penghianat yang menjadi bagian dari Kompeni terlihat Kang.Sigit tampak lebih serius. Dia seperti sudah tidak bisa mentoleransi keadaan ini. Baginya pengkhianatan adalah hal yang sangat tidak bisa diterima.
Kang.Sigit : “Banu, gawe peta. Agung, Banu diewangi. Koe sing ngerti lokasin’e. Pendi, Kabeh senjata digowo metu”. Komando perintah Kang.Sigit menggerakan untuk segera bersiap-siap. Semuanya mulai bergegas sesuai dengan tanggung jawab masing-masing.
Kang.Sigit : “Wayah bar ‘Ashar ketemu meneh nang kene.” Lantas mereka memburarkan diri kembali ke rumah untuk pamit kepada keluarga masing-masing. END
Fery masih tidak berdaya dijerat tali ditengah alas Ciro. Wajahnya tertunduk lesu mata terpejam dan menghadap kebawah. Dua orang penjaga  mengitari Tue Fien dan Andra tidak jauh dari tempat dimana dia ditawan. Pandangan mereka mengawasi di skitar alas. Sang Captain Tomi terlihat istirahat dibawah pohon dan berbantalkan akar sebagai pengganjal kepalanya. Tidak jauh dari Captain Tomi, Van Zen bersandar dipohon dan matanya terpejam. Meski begitu senjata tetap ada disebelah mereka. Kewaspadaan tidak pernah diabaikan walaupun dalam keadaan sedang tidur.
Dirumah Kang.Sigit telah siap dengan segala peralatannya. Terdengarlah suara adzan ‘Ashar dari surau daerah pemukiman mereka. Langit terlihat begitu cerah. Tidak terlalu panas dan angin berhembus sepoi-sepoi.
Di Cakruk tempat mereka berkumpul sudah terlihat Banu, Rifki, Agung, dan Pendi. Mereka betul-betul semangat untuk berjuang. Dikepala mereka terikat simbol perjuangan. Bambu runcing ada digenggaman mereka. Ketapel terselip dipinggang celana belakang badan mereka. Sembari menunggu kedatangan Kang.Sigit mereka tampak berbicara satu sama lain. Barang yang akan dibawa kembali dicek dan memastikan jika semua perlengkapan sudah dipersiapkan. Seminimal mungkin barang yang akan dibawa untuk upaya pembebasan. Peta, bambu runcing, dan ketapel.
Kang.Sigit ternyata sudah berada dibelakang tempat mereka sedang melingkar.
Kang.Sigit : “Piye, siap?”. Banu langsung menghamparkan peta lokasi pembebasan tawanan berada. Alas Ciro yang sudah dipetakan kemudian dijelaskan kepada Kang.Sigit. Begitu seksama Kang.Sigit mendengarkan penjelasan rincian dari Banu. Alas Ciro yang yang dikitari oleh sawah dan juga terdapat sungai diwilayah itu juga dijelaskan oleh Banu.
Sehabis Banu mejelaskan denah lokasi tempat mereka akan melakukan pertempuran. Kang.Sigit kemudian memberikan arahan strategi bagaimana caranya untuk mebebaskan Fery dari tangan Kompeni. Semuanya memperhatikan peta dan mengikuti arahan Kang.Sigit.
Kang.Sigit : “Sampai disungai kita harus lebih berhati-hati. Jaga langkah kalian. Jangan ribut. Lalu disini kita akan memasuki area sawah. Tidak bisa kita berjalan dengan berdiri tegap. Kita harus menunduk. Senjata kalian harus kuat ditangan....bla bla bla...!”.
Deras arus sungai terdengar riaknya. Semak-semak rumput hijau merambati tepi-tepi sugai yang mengalir. Diseberang sebelah barat sungai terlihat ribun pohon yang tinggi juga rimbun. Disitulah Alas Ciro tempat dimana Kang.Fery ditawan oleh Kompeni. Dari tepi alas yang terlihat sepi namun didalamnya tersembunyi peristiwa yang berlangsung menyedihkan. Ditengah Alas Ciro daun-daun berserakan, akar-akar pohon yang merambati tanah dan binatang-binatang sebagai penghuni asli dari Alas Ciro.
Lemas tiada berdaya terikat dipohon dengan tali yang menjerat tangan dan tubuhnya. Wajah lusuh berbekas siksaan sangat menggambarkan apa yang telah dialami Kang.Fery. Dari pelipis matanya darah mulai mengering bercampur dengan tanah sebab kekerasan yang diterimanya. Sebelum senja datang dan ketika matahari mulai tenggelam mungkin ajal sudah menjemputnya. Tidak terselamatkan dengan kondisi yang mengenaskan.
Tidak jauh dari pohon tempat Kang.Fery diikat, Sersan Tomi sang pemimpin dari kejahatan ini sedang nyaman tidur bersender dipohon sebelah tenda. Asap dari perapian yang baru saja digunakan untuk memasak menyelingkupi lokasi persembunyiaan itu. Sedangkan Kompeni yang lain bergantian untuk menjaga keamanan disekitar wilayah mereka. Senjata-senjata ada digenggaman mereka, meriam dipersiapkan untuk antisipasi bila ada serangan yang tidak terduga. Mata mereka begitu mewaspadai terhadap hal-hal yang mencurigakan. Para Kompeni sungguh siap untuk mempertahankan posisinya.
Pohon-pohon tebu yang terhampar luas tidak jauh dari Alas Ciro menjadi rute perjalanan para pejuang yang dipimpin Kang.Sigit bersama pasukanna. Mereka berjalan dengan sangat waspada. Derap langkahnya diatur agar tidak menimbulkan kecurigaan. Mereka hampir tidak bersuara kecuali hanya berbisik itupun seperlunya saja. Pohon tebu yang sudah tumbuh cukup tinggi bisa dengan baik Kang.Sigit manfaatkan untuk bergerilya. Daun tebu disibakannya pakai tangan dan langkah kaki yang berhati-hati pada pijakan-pijakan yang tidak menimbulkna suara. Perjalanan yang telah cukup jauh akhirnya tampak didepan sejauh pandangan mereka sudah terlihat Alas.Ciro. Alas Ciro yang banyak ditumbuhi pohon-pohon dan tumbuhan liar bagi kang.Sigit dkk lebih tampak seperti apa yang berkobar. Hijau
Wisnu : “Kae wes ketok?” Tiba-tiba suara keras Wisnu membuat semuanya mematung berhenti dan menatapnya. Dan Agung yang didepannya lantas menegurnya.
Agung :”Hasshh, suaramu ki sero tenan..!!” Tangannya memberikan kode dengan menempelkan pada mulutnya.
Kang.Sigit :”Kita harus berhati-hati, daripada kita mati semuanya.” Sekali bicara dari Kang.Sigit sudah membuat diam rombongannya. Kang.Sigit memimpin kembali melanjutkan langkah. Alas Ciro semakin tampak jelas. Aroma dendam sangat  

Tidak ada komentar: